- Back to Home »
- sastra »
- Nantikan Aku di Surga
Posted by : Unknown
Rabu, 03 September 2014
24 september 2010
A love M
Dear Alloh...
Alloh, terima kasih atas nikmat yang telah engkau hadirkan padaku. Kini aku
bukan lagi Aisyah yang dulu, aku telah menjadi Aisyah yang baru, Aisyah
istri dari Muhammad Idzarul Latief. Aku
teringat sang Bintang dunia, beliaulah Muhammad Rasulullah SAW.
Bliau pun memiliki seorang istri
bernama Aisyah ra. Wahai Alloh dzat yang
maha mulia, seperti apa lagi hamba harus bersyukur kepada-Mu. Rasanya
Hamdalah, tahajud dan puasa pun tak cukup sebagai bukti rasa syukurku
terhadap-Mu, atas segala nikmat berupa karunia-Mu ini. Kusadari
duhai Robbi, ibadaku sesungguhnya hanyalah bermanfaat bagiku pribadi. Tak
bagi-Mu, meski sedikit pun itu. Oleh karenanya ku kan berusaha tuk menjadi
seorang istri yang solehah bagi suamiku. Sebagai bukti taatku terhadap-Mu. Karena
ku tahu,Keridohan-Mu diatas keridohan suamiku, dan murkamu di atas
kemurkaan suamiku.
Wahai dzat yang maha mulia, bimbing ku selalu di jalan-Mu.
Airmata senyumku,
Aisyah Az Zahra
|
Aisyah,
nulis apa kamu nak, ijab qobul telah usai. Suamimu akan datang mengetuk pintu
kamarmu. Rapikan dirimu, sambut suamimu untuk pertamakalinya dengan cinta.”
ujar ummi membetulkan gaunku dengan senyum manisnya
“Putriku, jika kau
mencintai ummi, taatlah engkau pada
suamimu. Meski engkau tak mengenal siapa suamimu sebelumnya, namun kyai Yazid,
dan aba[2]
telah mengenalnya. Bukankah engkau telah temukan ia dalam istikhoromu, Kenapa
kini engkau menangis sayang,
adakah yang membuat hatimu gelisah?”
“Hati
Aisyah bergetar ummi,”
“Anakku
sayang, inilah yang saat itu ummi rasakan, nikmati perasaanmu saat ini.
Dzikirlah, agar syetan tak mampu menguasai hatimu.”
Saat
ini ummi memelukku dengan penuh kasih
sayang, pelukan yang begitu erat dan hangat. Tidak hanya itu, ummi
pun mencium keningku. Seolah-olah
ia tengah mengunci pelukan hangat ini agar tidak
segera terlepas dari tubuhku. Hingga akhirnya ketukan pintu di luar
kamarlah yang melepaskan pelukan ini. Dengan hati berdegup, aku tundukkan kepalaku
seraya mencoba menenangkan hati sembari duduk di ranjang. Ammah[3]
Fatima yang saat itu pun bersamaku di dalam kamar, segara membukakan pintu.
Saat pintu dibuka, terdengar suara abi dan keluarga lainya memasuki kamar yang
telah di desain serba putih. Suamiku datang menghampiriku dengan penuh cinta.
Ruang kamarku berubah nuansa, kegelisahan seolah sirnah, hanya senyum dan
ketulusan cintalah
yang aku rasakan dalam kamar ini. Cinta ummi, abi, keluargaku, mertuaku dan
yang lebih sepesial lagi cinta suamiku. Perlahan aku bangkit dari dudukku dan
menghampiri suamiku, kemudian kucium tanganya dengan segala kemesraan hati. Tak
hanya itu, dengan kasih sayang dan ketulusan cinta di hatinya, Ia pun mencium
keningku amat lama .Seolah ia tengah mentransfer seluruh rasa yang ada
dihatinya ke palung hatiku. Kehangatan cintanya benar-benar meresap kedalam
tubuh ini, hingga menancap kuat di hati. Seluruh keluarga riuh bahagia melihat
kemesraan kami yang penuh kesucian cinta.
_____...*..._____
Benar-benar tak dapat aku melupakan peristiwa itu.
Peristiwa yang menghadirkan maknah cinta anak manusia yang sesungguhnya. Memang
tak pernah sebelumya aku mengenal siapa suamiku. Namun bukan berarti aku tidak
dapat mencintainya. Karena kalimat syakral ijab-qobul yang suamiku ucapkan
dengan tegas membuat hatiku bergetar merasakan sesuatu yang tidak dapat aku
ungkapkan dengan kata-kata. Sesuatu yang
hanya dapat dijelaskan dengan dirasakan. Sesuatu yang tidak dapat di diskripsikan
dengan kalimat-kalimat berupa kumpulan kata dengan huruf-huruf didalamnya.
Sore
hari selepas pristiwa bersejarah itu usai, segera aku dan seluruh keluarga besar
mengantarkan suamiku ke Bandara. Ini adalah peristiwa yang sangat menyayat
hatiku. Bagaimana tidak, baru pagi tadi Ijab-Qobul diucapkan mas Muhammad
Izharul Latief untuk mengikat ikatan suci denganku. Kini ia harus pergi
peninggalkan aku ke Mesir. Sakit memang hati ini. Ingin aku berkata ”Suamiku
jangan pergi, jangan tinggalkan aku sendiri tanpamu”. Namun itu tidak mungkin,
aku tak pantas bersikap egois semacam itu. Cintaku hanya pergi sementara waktu,
aku yakin kepergianya hanya untuk kembali kepadaku selamanya.
Aku
teringat peristiwa satu minggu menjelang pernikahanku. Saat aku berkunjung ke
pesantren An-Nur. Silaturohim dengan ustad dan ustadzahku disana. Sekaligus bertatap muka dan
melepas rindu dengan dua sahabatku. sahabat yang saat ini tengah mengabdikan
diri mereka sebagai tenaga pengajar di pesantren tercinta itu.
Ketika
aku sedang sendirian menikmati suasana sejuk didepan masjid pesantren putri,
ada sosok berwibawa yang datang perlahan menghampiriku. Sosok yang sangat aku
kenal dan aku hormati. Aku lihat cara berjalanya pelan dan tenang, jangutnya
sudah mulai memutih secara total. Meski begitu beliau tetap tampak seperti dulu.
Tegap, berwibawa, dan selalu berpakaian rapi serta tak lupa sorban yang diikat
di kepalanya. Tentu aku tak bisa melupakan sosok itu, sosok yang memancarkan
pesona ketegasan dan kedisiplinan namun selalu memberi kesejukan hati manakalah
ia berujar. Kyai Abdurrohman Yazid. Ya bliau, pemilik Ma’had An-Nur yang megah
ini.
“Assalamu’alaikum
warohmatullohi wabarokaatu Aisyah, kaifa khaluq[4]
ya Najmah.”
sapa kyai yazid dengan pangilan humornya kepadaku.
Saat
masi nyantri dulu aku sering memperkenalkan diri dengan nama Aisyah An
Njmah, semua ini karena aku ingin menjadi yang terbaik diantara seluruh santri
di Ma’had An-Nur . Aku ingin menjadi bintang. Menjadi bintang kelas dengan
nilai terbaiak, menjadi bintang asrama dengan catatan yang bersih dari segala
jenis pelangaran. Dan menjadi bintang penerang kegelapan setiap insan.
“Waalaikumussalam
warohmatulohi wabarukaatuh
kyai. Khoir[5]
alhamdulillah. Kyai kaifa khaluq?” Jawabku dengan senyum santun.
“Alhamdulillah
Najmah”. Dengan senyum kelembutanya.
Aku
tertunduk malu mendengar jawaban kyai yazid yang masih memangilku dengan nama
Najmah.
‘‘Anakku,
kyai ingin bercerita padamu. Kyai pernah mengenal seorang pemuda yang soleh,
pemuda yang selalu menjaga sholatnya tepat waktu, dan selalu mengusahakan untuk
berjamaah di masjid. pemuda ini terlahir dalam keadaan yatim, ia tinggal
seorang diri dengan ibundanya. Ayahnya meninggal ketika pesawat yang mengantarkanya menuju medan
perang di palestina terbakar saat penerbangan. Sejak kecil pemuda ini berjuang
keras untuk bisa sekolah. Bahkan ia berkeinginan sekolah di sebuah pondok
pesantren. Dan keinginan itu terwujud ketika pemuda ini memenangkan lomba
tahfidz Quran di kecamatan kampung halamanya. Kemenangan itu telah membuat sang
guru ngaji pemuda ini ikhlas membiayai sekolahnya, dari MTs hingga Aliyah di
sebuah pondok pesantren Tahfidz Quran. Tak hanya sampai di situ, prestasi
pemuda ini di pesantrennya membuat ia berhasil memperoleh beasiswa yang akan
membiayainya melanjutkan studi di Ma’had ISY KARIMA. Dan yang lebih membuat
kyai kagum lagi mengenai pemuda ini.
ketika dia lulus dari Ma’had Isy Karima, ia memperoleh besiswa kuliah S2
di Universitas Al Zhar Cairo-Mesir.”
“Subahannallah.”sahutku memotong
cerita kyai.
“Namun ia sangat berharab, sebelum
keberangkatanya ke Mesir. Ia telah menikah terlebih dahulu dengan seorang
muslimah di Indonesia. Tak bermaksud apa-apa, ia hanya berusaha menjaga diri
dari sulitnya mengendalikan hati. Apa lagi perempuan di mesir. pesona mereka
layaknya sesosok Cleopatra. Inilah mengapa menikah adalah langkahnya dalam
membuat tameng untuk hatinya.”
“Sungguh beruntung seorang muslimah yang
nantinya mendampingi pemuda soleh itu
kyai”. Tangapanku secara sepontan mendengar cerita kyai.
Seketika
itu pula juga kyai yazid segara menoleh kearahku.
“Anakku
Aisyah, bagaimana pendapatmu jika kyai menginginkanmu mendampingi rijal[6]
itu.”
“Subhannalloh.!!!” Terkejut.
“
kyai… emm…kyai serius dengan apa
yang barusan kyai sampaikan?”
“Istiqorohlah
nak.” Jawab kyai sambil menunjukkan foto pemuda yang kyai critakan terhadapku.
“Masuklah
ke asrama. Sudah malam, renungkanlah dan temukan kemantapan hati dalam
istikhoromu. Kyai ke asrama putra dulu ya.”
Tambah kyai yang
kemudian segera bangkit dari duduknya menuju asrama di pesantren putra.
Tak
lama kemudian aku segera bangkit pula dari dudukku. Segera aku tinggalkan
masjid dan menuju asrama putri. Dalam langkahku mengerakkan kaki ini, fikirku
melayang-layang. Peristiwa malam ini memang membuat hidupku sekejab terasa
aneh. Aku mengalami kebingunan antara mimpi dan kenyataan.
“Bagaimana
mungkin aku yang masih mahasiswa semester empat akan menikah. Dengan seorang santri dari kyai yang sangat aku kagumi. Santri yang
bliau banggakan pula. Sungguh aku rasanya tak mampu harus berkata apa lagi.
Terlebih pula aku ini siapa, pantaskah aku mendampingi seorang rijal
seperi yang beliau
ceritakan.” Gumunku mengiringi setiap
langkah jalan kakiku.
_____...*..._____
Kemilau
bintang dilangit memberi senyum padaku. Angin berhembus mesra memeluk hatiku.
Pohon-pohon pun mengepalkn dahan-dahanya, seolah ia memberiku semangat untuk
tetep kuat dan tegar menghadapi kehidupan baru seorang diri. Aku akan terus
tersenyum dalam kesendirianku. karena inilah awal jalan cintaku.
25 september 2010
Alone
Dear
Alloh,,
Robby,,, ini malam pertamaku
menjadi seorang istri, malam pertamaku tanpa suami. Dan ini pun hari
pertamaku menjadi istri yang harus merelakan suaminya pergi ke negri orang.
Robbi,
ikhlaskan hatiku dan kuatkan imanku untuk ini. Manakalah cinta telah di
uji, ku yakin inilah cara-Mu
menguatkan cinta kami. Kan aku nikmati kesendirianku sebagi istri yang
menanti kehadiran suami tercintanya kembali . Aku mencintainya karena-Mu,
jadaikanla ia pun mencintaiku karena-Mu. Sehingga hanya pada-Mulah cinta
suci kami berlabu.
Hening kerinduanku
Aisyah Az-Zahr
|
Ini
malam pertamaku, dan akan menjadi malam kedua, ketiga dan seterusnya bagiku,
sampai dua tahun yang akan datang mempertemukan kami. Aku yakin kebahagiaan
tidak hanaya terletak pada kebersamaan. Namun kebahagiaan akan dapat tercipta
manakalah kesetiaan, keikhlasan dan keyakinan mulai menyatu. Cintaku sedang di
uji, karena cintaku suci. Dengan ujian ini, akan aku jadikan cintaku menjadi
cinta yang istimewa dan luarbiasa. Menjadi istri yang jauh dari suami tidak membuat
cinta dihatiku berangsur-angsur luntur. Cintaku terus mengeras, bahkan menjadi
lebih kuat. Komunikasi kami memang melalui media, tapi cinta dihati kami tanpa
batas dan perantara.
_____...*..._____
Dua belas kali bulan di langit
menyapaku sebagai Aisyah Az Zahra istri Muhammad Idzahrul Latief. Dua belas
kali pula bulan mengingatkan aku bahwa kekasiku akan pulang keindonesia
menghampiri istri tercintanya untuk sementara. Karena di tahun pertama ini akan
ada liburan untuk study suamiku di sana. Dalam anganku, ingin aku temui
suamiku di Ma’had An Nur. Karena dari Ma’had An Nur itu awal aku dipertemukan
dengan cinta hatiku. Namun apa yang aku inginkan tak dapat jadi harapan.
Selepas ku terima telpon dari orang tercintaku di mesir, ia berbicara untuk
memohon izin padaku. Bahwa liburan tahun ini ia ingin mengikuti pengiriman
tentara mujahid ke palestina. Karena melihat dan mendengar keadaan kaum muslim
dipalestina membuat suamiku tidak sangup jika harus tersenyum manakalah saudara
seiman dan seakidahnya mengalami penderitaan
dari kaum yahudi. Aku tak dapat berkata-apa lagi. Rasa sakit, kecewa bahagia
dan bangga bercampur menjadi
satu. Aku mengharab sekali kehadiran suamiku. Namun aku pun ingin mendukung
perjuangan suamiku yang mulia ini. Sungguh
aku benar-benar tak kuasa harus berkata apa.
Khodijah ra istri Rosulullah SAW selalu mendukung
langkah gerak Rosulullah dalam memperjuangkan Islam. Aisyah ra pun bahkan
pernah mengikuti beliau
dalam perjuangannya. Pantaskah jika aku kecewa bila suamiku berjuang dijalan
Alloh. Bukankah aku mencintainya karena Alloh, maka harus bertambah besar pula
cintaku bila suami yang kuncintai mengorbankan jiwa raganya untuk jihad di
jalan Alloh.
25
Agustus 2011
Uhibuka
fillah
Dear Alloh...
Robby hanya engkaulah tempatku
mengadu, hanya padamulah kutumpahkan perasaan hati ini. Dan hanya padamulah
kumohon kekuatan hati. Wahai dzat yang maha Rohman, ingin aku merasakan
menjadi seorang istri yang memberi sentuhan hangat pada belaian hatinya.
Ingin aku menjadi seorang istri yang menghapus duka pujaan hatinya.
Ingin aku menjadi seorang istri yang menampung curahan hati suaminya.
Namun, jika suamiku memang lebih mencintaiMu dari istrinya ini, jika
suamiku lebih mengingkan bidadari-bidadari cantik di surgamaMu. Maka
tuntunlah aku tuk menjadi Ratu dari bidadari-bidadari di surga-Mu itu.
sungguh aku mencintai suamiku karena RahmadMu, maka satukanlah kami
disurgaMu.
Gelora
cinta atasMu
Aisyah Az Zahra
|
_____...*..._____
Seiring berputarnya waktu, dari detik ke detik. Dari menit ke menit
rinduku makin membuncah pada sang pujaan hati. Aktifitasku yang bukan hanya
sebagi seorang istri, melainkan sebagai seorang mahasiswa di salah satu
perguruan tinggi negri ini membuat hatiku dirundung kegelisahan. Bagaimana
tidak, tak jarang kawan-kawanku menggoda dengan menanyakan dimana suamiku, tak rindukah aku denganya, bahkan
pernah terjadi suatu peristiwa ketika kawan-kawanku bertanya tentang suamiku.
“Aisyah aku dengar tahun lalu kamu sudah
menikah. Mana suamimu, kenapa aku tak melihat ia mengantarmu ke kampus atau
menjemputmu?”
“Suamiku di mesir.” jawabku dengan senyum.
“Sejak kapan?”
“Setahun lalu.” Kembali aku menjawabnya dengan senyum.
“Selepas resepsi pernikahan kamu dunk.” ujar kawanku sambil menepuk tanganku.
“iya benar”
“ are you serious? Means you still a
virgin?[7]”
tanya dia kaget
“why? Any problem?[8]” jawabku santai, hingga akhirnya ia pun
berlalu meninggalkanku sambil berkata pelan “gadis yang aneh.”
Hal semacam ini kerap kali aku alami, bahkan
sahabat ku yang di Ma’had An Nur juga pernah menggodaku saat aku berkunjung kesana.
“Aisyah, pacaran itu dosa ya?” Ujar Marwah
sahabatku.
“Ini yang ustadzah malah tanya sama ana.”Jawabku sembari mencubitnya
“Aduh... Aisyah sakit.” Rintihnya mengeram kesakitan.
“Syah... kalau pacaran itu dosa pacaran
islami dosa ngak ?” Tambahnya
“ Astaghfirulloh haladzim, ini
ustadzah makin nglantur aja pertanyaannya. Namanya najis, meskipun dibungkus sama sajadah yang suci,
tetep aja najis. Bahkan mengotori sajadahnya.”
“ Paham deh paham, yang pacarnya ustad zahrul. Pacar Islami maksudnya.”
“Ada yang marah ne… becanda Aisyah sayang,, maksud ana. Iya memang anti istrinya akh Zahrul. Yang kalau ngobrol selalu
sayang-sayangan, kangen-kangenan, romantis-romantisan meskipun cuma di dunia maya. Tapaikan anti[10]
masih gadis, masih virgin[11]
gitu. Jadikan lebih mirip kayak orang pacaran, Cuma pacarannya secara islami.
sebab diket dulu pakai Ijab-Qobul.” Jelas marwah sambil mengengam jemariku disertai tawa kecilnya.
Seketika itu pula aku menahan tangis, aku
merasa apa yang disampaikan marwah memang benar. Aku lebih mirip pacarnya mas Zahrul. Aku ingat ketika mas Zahrul mengirim puisi cinta di dinding facebookku. Kemudia kita
berbagi komentar yang penuh keromantisan. Saling menyapa dengan memanggil
“sayang”, “ya habibaty[12]”,”ummi” dan masih banyak pangilan romantis
lainya.
“Ya Alloh, aku rindu suamiku. Aku
mencintainya ya Alloh, pertemukanlah aku dengan dia. Mas zahrul.... pulang lah,
aku rindu sama kamu mas....”. Jeritku dalam hati hingga aku benar-benar tidak mampu lagi menahan air
mata ini.
“Aisyah sabar ya, anti harus
bersyukur. Coba anti renungkan, betapa Alloh mencintaimu. Diusia kita
yang saat ini, saat hati benar-benar bergelora tuk mencintai lawan jenisnya.
Anti bisa dengan leluasa mencintai akh[15]
zahrul. Mengadukan kelu kesa anti, bermanja-manja dengannya, dan masih banyak lainya. Dan semua itu tak
menyebabkan dosa sama sekali. Justru mengalirkan pahala bagi anti dan akh
zahrul. Beda dengan mereka yang tak mampu mengendalikan cintanya, hingga
membuat mereka berpacaran. Isbiri ya sohibaty[16]
meskipun sekarang akh zahrul jauh dari anti, anti tetap
harus bersyukur. Karena dengan begini anti bisa terus berprestasi tanpa
khawatir memperoleh titipan buah hati dari sang Illahi. Lihatlah , betapa Dia sangat menjagamu dari pengaruh
lingkungan di luar sana. Dan tetap memberikanmu kesempatan untuk meluapkan
gelora cinta dihatimu. Tentu kamu lebih memahami, kehidupan di luar pesantren lebih menantang
keimanan dari pada di dalam pesantren bukan. Inilah bentuk cinta Allah padamu,
dalam menjaga keimananmu”. Tutur Marwah yang akhirnya meneduhkn jiwaku
“Jangan kau biarkan bibirmu kering dari zikir. Agar syetan tak mampu
mengoyahkan keimananmu. Tersenyumlah sahabatku”. Tambah marwah
Nasehat marwahlah yang akhirnya menenangkan
jiwaku. Selalu aku mengingat nasehat ini. Dan tidak perduli dengan gunjingan
kawan-kawanku di kampus.
_____...*..._____
Hatiku
berdegub, perasaanku was-was, aku tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi pada diriku. Akankah ini
sebuah perasaan yang wajar manakalah seorang istri akan menyambut kedatangan
suami tercintanya dari kepergianya ke negri saudara muslim lainya. Entahlah,
aku tidak mengerti. Yang jelas saat ini ingin aku bersiap-siap menuju bandara
menjemput suami tercintaku. Setelah setahun yang lalu aku tidak berkesempatan
bertemunya karena ia harus mengikuti perang
di Palestina. Dan kini, atas rakhmat Alloh, Ia masih memberi kesempatan
padaku untuk kembali bertemu dengan suami tercintaku.
“Aisyah,
ayo kita ke rumah sakit dulu.” Ujar ammah
Fatimah yang membingungkanku.
“ Lantas bagaimana dengan mas Zahrul ammah?”.
Sekejap
pun ammah tak menjawab pertanyaanku. Secepat kilat ammah menarik
tanganku dan masuk kedalam mobil yang hendak berjalan menuju Rumah Sakit. Dalam
perjalan ini tiada satu kata pun yang keluar dari bibir ammah, sesekali
air matanya jatuh. Namun ia tetap berusaha untuk tegar di hadapanku. Perasaan hatiku makin kacau melihat semua
ini. Rasa sedih dan was-was bercampur dalam relung qalbu[17]ku.
Ditambah pula ekspresi ammah yang
tampak sangat sedih membuat aku makin bingung harus seperti apa. Ingin aku
bertanya pada ammah tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tapi hatiku tak
kuasa melakukanya. Hingga sampailah di rumah sakit, ammah berjalan sangat cepat setengah lari menuju
kamar ICU. Hatiku makain sedih ingin menangis tanpa sebab. Terasa was-was tak
menentu, seola ada peristiwa buruk yang menimpaku. Ditambah pula yang membuat
aku sangat kaget, seluruh keluarga dan mertuaku yang akan menjemput mas zahrul
kebandara berkumpul didepan ruang ICU. Aku heran, ada
apa ini sebenarnya, siapa yang sakit, dan bagaimana dengan mas zahrul. siapa
yang akan menjemputnya jika semua berada disini. Fikiranku dan hatiku
benar-benar kacau pagi ini, lebih-lebih saat aku berada di dalam rumah sakit
ini.
“Ummi, aba, ibu. Mengapa semua pada disini, sipa yang
sakit. Bagaimana dengan mas Zahrul, siapa yang menjemputnya di bandara ?” Tanyaku kebingungan
Tiba-tiba
seorang Dokter dan beberapa perawat keluar dari ruang ICU dan mengatakan pasien
dalam keadaan pingsan, serta kondisi pasien sangat parah dan kemungkinan untuk
hidup sangat menipis. Serentak semua orang menangis, terlebih ibu mertuaku yang
seketika itu pula tiba-tiba memelukku dengat sangat erat. Aku tak mengerti ada
apa sebenarnya, kemudian seorang dokter mempersilahkan kami semua masuk kedalam
ruangan. Betapa aku kaget ketika nampak dimataku suami tercintaku terbaring tak
berdaya dengan kabel-kabel di tubuhnya. Badanku lemas seolah tulang-tulangku
mencair seketika itu itu juga.
“Astaghfirullah
haladzim Maz Zahrul,Ya Alloh. Apa yang terjadi padamu mas”. Gumun hatiku dalam kondisi lemas tak berdaya.
Dengan
bantuan aba memegang pundakku, aku menghampiri suamiku. Ku peluk ia dengan
penuh kerinduan, cinta dan air mata. Sakit. Namun bukan luka, tapi hati yang
tersayat-sayat. Betapa Alloh menguji diriku. Cinta yang dua tahun aku rindu,
kini kembali dalam keadaan tak berdaya.
“Ya
Allah, izinkanlah hamba memeluk suami hamba lebih lama. Izin kanlah hamba tidur
dalam pelukan hangatnya. Izinkanlah hamba melahirkan generasi-generasi penjaga
kitab-Mu bersamanya. Ya Allah, karena-Mu aku sangat mencintainya, karena-Mu aku jaga diri ini untuknya. Karena-Mu aku bersabar menantinya, dan karena-Mu aku kuatkan diri ini menerjang badai
kehidupan seorang diri tanpanya. Akankah kini Engkau tega mengambil ia yang memang milik-Mu dariku dengan begitu cepat.”
“Aisyah,
sabar nak. Tak baik seperti itu. Allah tak tuli nak, Berdo’alah. Allah kan dengar do’a-do’amu.” Ujar ummi dengan tangis
memelukku.
“Izinkan
Aisyah sendirian dikamar ini dengan mas Zahrul”.
“Nak...”.
Aba berusaha bicara.
“Aisyah
mohon, izinkan Aisyah sendiri dikamar ini dengan mas Zahrul.” Pintaku keras dengan menangis.
Sejenak
kemudian ruangan ini sepi tanpa seorang pun selain aku dan mas Zahrul. segara aku berwudlu dan sholat
diruangan ini. Memohon dengan ketulusan hati, memohon dengan kerendahan diri.
Dan dengan keyakinan untuk kesembuhan suamiku. Dalam sujud panjangku, aku berdo’a. Memohon kesembuhan untuk suamiku.
“Ya
Alloh, ya Rohman, ya Rohim. Kepadamu aku bersimpuh. Kepadamu aku berserah diri.
Tetapkanlah aku menempatkan-Mu dicinta pertamku. Allah, hanya kepada-Mu tempatku mengadu dan mengeluh. Maka
kumohon, dengarlah rintih hati ini. Robbi, dua tahun lalu Engkau halalkan ia untukku. Dua tahun lamanya telah
engkau jauhkan ia dariku, tanpa tersentuh.
Selama ini aku
pendam rasa rindu yang membuncah. AKu kuatkan hati tetep mengeras melawan tombak-tombak cacian dan sindiran
menerpa. Dan kini, mengapa Engkau hadapkan ia dimataku terbaring tak
berdaya. Biarlah kesempatan ia tidur dalam pelukku, berjalan bersamaku dan membentuk generasi-genarsi
penjaga kitab-Mu. Izinkan aku mengabdi menjadi istri yang menentramkan hati suaminya.
Ijinkan aku belajar dalam bimbinganya . Sembuhkan ia ya Allah, aku
mencintainya. Ingin ku bentuk keluarga sakinah yang utuh bersamanya. Tolong aku yang ya
Alloh, dengan kemurahan-Mu sembuhkanlah suamiku”. Pinta dalam sujud panjangku.
Selepas
sholat aku melantunkan ayat-ayat qauliah-Nya disisi mas Zahrul. Aku pegang tanganya dengan penuh cinta. Dan tak lama kemudian keajaiban terjadi.
Tangan mas Zahrul
bergerak. Seketiaka itu aku berteriak memanggil keluargaku. Akankah ini karena
Allah mendengar pintaku, entahlah. Yang pasti kini aku tengah menangis bahagia.
Sekilas bayang-bayang berumah tangga melintas
jelas dibenakku.
“Aisyah….”. Ujar mas zahrul pelan.
“Mas
Zahrul,,”. Jawabku dengan mencium tanganya.
“Ukhibukai fillah ya jauzah[18]. Mendekatlah kearahku, ku ingin mencium keningmu”. Rintih mas Zahrul pelan.
“Ana
aidzhon, ukhibuka fillah ya jauzi.[19]”
Jawabku menangis sambil mengarahkan keningku ke bibirnya.
“Ikhlaskanlah aku, dan ku nantikan ekau
disurga.” Ujarnya.
Beberapa
detik kemudian, selepas ia menjauhkan bibirnya dari keningku dengan jelas aku mendengar kalimat keluar
dari bibirnya secara pelan. “Laaillaha illaloh, mhammaddarrosululloh”. Pecah sudah suasana saat itu dengan tangis seluruh keluarga. Hanya aku,
ya hanya aku yang tak keluarkan air mata. Entah mengapa, mungkin telah kering air mataku. Mungkin pula
telah ikhlas hatiku melepas kepergianya. Kepergian menuju sang Pemiliknya. Aku
ikhlas.
“Nantikan
aku disurga.” Ujarku menutup selimut kearah wajahnya.
_____...*..._____
24
september 2012
Jika tiba
Waktu
Dear Alloh,
Robby… bagaimana maz Zahrul? sungguh aku merindunya. Bantu aku
membuat para bidadari cemburu padaku. Kan ku bawa ia kembali dalam
pelukannku di surga.
Mas
Zahrul, ingin
aku menjadi istrimu seutuhnya. Jika dunia bukanlah tempatnya, maka nantikan
aku disurga.
Jika
tiba waktunya, sambut aku dengan senyum manismu di surga-Nya. Aku mencintaimu .
Yang merindu
selalu,
Aisyah Az
Zahra
|
Sejenak
kemudian, selepas mengisi lembar-lembar buku harianku. Cerita itu masih
terbayang, terbang, dan berputar-putang dalam benakku. Cerita tentang suami
yang merindu istrinya. Kerinduan yang membuncah membuat ia tak mampu kendalikan
diri ketika hendak turun dari pesawat untuk menginjakkan kakinya di bumi
indonesia. Ya,
cerita itu, cerita kecelakaan itu. Kecelakaan maut yang menjadi skenario-Nya
untuk menjemput kembali manusia yang Ia cinta.
Kecelakaan itu, tabrakan dengan sedikit
luka luar itu. Tak disangka-sangka
membuat nyawa kembali pada pencipta dirinya. Dengan diawali perawatan intensif dan
selang-selang kecil yang harus
melilit tubuhnya di ruang ICU tentunya.
Sebab luka dalam yang ia derita.
Kini hatiku membuncah untuk mulai
berbicara, bahwa inilah akhir cintaku. Aku bukan malaikat yang selalu taat dan
tak memiliki nafsu. Aku pun bukan Nabi, manusia pilihan yang tanguh menjaga
keimanan. Aku hanya manusia biasa yang mencoba membuat bidadari cemburu padaku.
Aku tak pernah mau mengenal cinta,
karena aku tahu cinta itu amanah. Dalam pernikahan, disitulah aku belajar
tentang cinta. Tentang kesetiaan, keikhlasan dan pengorbanan. Bukan pengorbanan
fisik yang aku rasa, namun pengorbanan batin dan jiwa yang terus menyiksa.
Istri tanpa suami, istri yang masih suci, istri yang bercinta didalam maya.
Bukan aku marah dan kecewa takdirku seperti ini. Namun memang seperti ini jalan
cintaku, cintaku hanya diperkenalkan di bumi, karena surga adalah tempatnya.
Nantikan aku di surga suamiku, akan aku
jaga cinta ini hanya untukmu.
Kayak lagunya Edcustic.. :)
BalasHapus