- Back to Home »
- kisahku »
- Sahabatku bukan Pacarku
Posted by : Unknown
Kamis, 26 Maret 2015
Matahari
bersinar dengat semangat yang mengebu. Tanpa malu dan ragu ia tumpahkan cahaya
terangnya yang menyilaukan dan suhu panasnya yang membakar ke pada seluruh makhluk
bumi. Siang ini memang begitu menyengat panasnya, meski malam tadi hujan begitu
deras menguyur hamparan sebagian bumi ini. Kali ini jadwalku menuju toko
ZAVA, teman-teman tak perlu tahu toko zava itu apa. Sebab sefti tidak di
bayar untuk mempromosikanya. Bukanya pelit sih, cuma sedikit sebel aja sama si
mas ganteng* (*lebel dr mahasiswi UMSurabaya, kecuali saya) sang peilik toko
itu.
Jadi
ceritanya siang bolong ini, sefti bergegas setengah lari menuju toko zava guna
mengambil buku dan hasil fotocopyan-ku beberapa hari yang lalu. Sesampainya di
tempat. Mas pemilik toko dengan ramahnya menyambut kedatanganku sebagai
konsumen di tokonya.
"Ambil
buku ya mbak ?" Tanyanya dengan senyum hasnya.
"Iya
mas, jadi berapa harganya?" Jawabku setengah cuek.
"Jadi
totalnya Rp. 58.000.00 mbak ". Jawabnya sembari menyertakan buku-bukunya
kepadaku beserta tambahan nota harga.
"Oke,
terimakasih mas".
"Sama-sama
mbk. oh iya mbak ini Flasdick milik teman mbak ya?" Tanyanya, sambil
menunjukkan kemudian menyerahkan benda yang di pegangnya ke arahku.
"Oh
iya mas, ini milik Mega teman saya". Jawabku menerima Flesdick dari tanganya.
"Iya,
teman mbak uda lama gag ke sini. jadi saya titipkan ke mbak gag pa-pa kan? Mbak
temennya kan?" Ujarnya.
"Iya
saya temenya". Jawabku singkat.
"Atau
jangan-jangan pacarnya. hehe..." tambah mas pemilik toko tersebut.
"Haa
:o !!!" (ekspresi terkejut)
Selepas
itu aku segera angkat kaki dari toko tersebut. Rasa sebel bercampur bedmood
tiba-tiba menyerang jiwaku. Aku tak habis fikir, bisa-bisanya mas itu menyebut
sohibku sebagai pacarku. Sumapah, geli banget rasanya telinga ini mendengar
perkataan mas pemilik toko itu. Aku dan Mega selama di kampus memang tak terpisahkan.
kita selalu bersama, berangkat kuliah dan pulang pun bersama. Jajan dan nongkrong
pun juga bersama. Jalan pun kita selalu berdua. Tapi bukan berarti karena itu
kita bisa di bilang pacaran kan???
Entahlah
aku tidak bisa menerka bagai mana pola fikir mas pemilik toko tersebut. Atau
mungkin aku aja yang terlalu sensitive, apa lagi suhu udara yang begitu
menyengat membuat hatiku jadi muda tersinggung. Sehingga guyonan kecil yang mas
pemilik toko tersebut lontarkan padaku terasa bagai cemoohan yang pahit. Mungkin
memang aku sebaiknya berlatih untuk selalu bersikap ramah dan pandai mengolah
hati. Agar canda-canda kecil dari orang terasah renyah di telinga. Tidak justru
seolah empedu yang tumpah ruah di hati. Selain itu, mungkin pula aku juga harus
sedikit membatasi ke dekatanku dengan si sohibku. Sebab, kebiasaan kami jalan
sambil bergandengan tangan sepertinya menjadi pemandangan yang tidak wajar
bagai sebagian orang. Walau sesungguhnya sikap tersebut tak lebih dari rasa
kasih seorang sahabat terhadap sahabatnya.
Terakhir,
aku menyimpulkan. Dalam hidup ini kita tidak bisa memandang suatu hal melalui
satu sudut pandang saja. Namun kita harus menggunakan banyak sudut pandang
untuk melihat permasalahan hidup ini. Sebab, apa yang menurut sudut pandang
kita negatif bisa jadi sesutu yang positif dalam sudut pandang orang lain.
Seperti kisaku tadi. Aku mungkin melihat perkataan yang mas pemilik tok ujarkan
padaku seolah sindiran pahit. Namun bisa jadi sesungguhnya mas tersebut berniat
untuk mengingatkanku, agar aku lebih bersikap sewajarnya saja walaupun terhadap
sahabat sendiri. Supaya nantinya tidak menimbulkan presepsi yang negatif dari
mata-mata lain yang turut memandang pula kedekatan kita.
Surabaya,
17 Maret 2015
Sefti
Ika Wulansari